Sejarah pembangunan kereta api Aceh sangat unik, berbeda dari daerah lain.
Perbedaan ini disebabkan tujuan awal pembangunan kereta api dan siapa saja yang memanfaatkannya. Kereta api Aceh mulanya dibangun sebagai sarana mengangkut
peralatan militer dari pelabuhan Ulee Lheue ke Kutaraja atau Banda Aceh. Dengan kata lain kereta api dibangun untuk
kepentingan perang daripada kepentingan ekonomi dan sosial. Hingga pada
akhirnya juga memberikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar.
Pasca reformasi 1998, Presiden RI saat itu, BJ Habibie mengeluarkan janji politik kepada
masyarakat Aceh. Salah satu janji itu adalah pembangunan kembali jalur kereta
api. Pasca janji tersebut, pada tahun 2002 dibuatlah Rencana Umum Pengembangan
Kereta Api Sumatera, yang merupakan hasil kesepakatan Gubernur se-Sumatera.
Program Perkeretaapian Aceh merupakan bagian dari program Trans Sumatera
Railway Development. Pembangunan jalan kereta api Aceh dianggap solusi
tepat saat ini dan juga di masa depan, di mana angkutan kereta api ini bersifat
massal, murah, aman dan efektif. Pembangunan kembali jaringan pelayanan kereta
api Aceh diyakini memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Pelayanan tersebut akan semakin membuka dan menghubungkan kota Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, Langsa, Besitang, Medan-Belawan, Medan-Tebing
Tinggi, Pematang Siantar-Rantau Perapat. Lintas jaringan tersebut juga nantinya
akan terhubung dengan jaringan baru yang menghubungkan kota-kota di provinsi
Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dalam satu
kesatuan sistem Trans Sumatera Railway.
Pembangunan Kereta Api Aceh
Pada tanggal 26 Juni 1874, Gubernur Aceh dan daerah taklukannya
memerintahkan untuk menghubungkan tempat demarkasi pelabuhan Ulee Lheue dan
Kutaraja dengan rel kereta api sepanjang 5 km dengan lebar spoor (rel) 1,067 m
Tanggal 12 Agustus 1876 jalan kereta api Ulee Lheue resmi dibuka untuk umum
dengan menghabiskan biaya 540.000 gulden.
Jalur kereta api diteruskan hingga Gle Kameng-Indrapuri, namun hanya mampu mencapai Lambaro dengan alasan keamanan. Lebar spoor dikurangi menjadi 0,75 m dengan
panjang 16 km.
Dibuka jalur dari Kutaraja - Lamnyong, sebuah jalur dari Tongah ke Pekan Kr. Cut dan rumah sakit militer Pante
Pirak. Jalur ini digunakan untuk membawa orang luka dan sakit dari pos militer
keluar Aceh.
Bulan Januari 1898, jalur kereta api diperpanjang hingga mencapai Seulimuem sepanjang 18 km dan dimanfaatkan
untuk lalu lintas umum.
Tahun 1900
Gubernur Van Heutzs merencanakan perluasan jalur kereta api
Seulimuem-Sigli-Lhokseumawe. Biaya ditaksir untuk membangun jalur ini sebesar 3
juta gulden, biaya terbesar untuk membuat lintasan di pegunungan yang sangat
berat.
Tahun 1903
Tanggal 15 September 1903 jalur Beureneuen - Lameulo sepanjang 5 km siap dikerjakan dan dibuka untuk umum.
Tahun 1912
Pertemuan jalur kereta api lintasan Deli Pangkalan Berandan - Aceh dimulai.
Jalur kereta api Langsa - Kuala Simpang resmi dibuka untuk umum
Tahun 1919
Tanggal 29 Desember 1919 Persambungan kereta api Deli Spoorweg
Maatschappij dengan lintas Aceh diresmikan pemakaiannya. Total panjang
jalur kereta api di Aceh adalah 450 km dengan total biaya 23 juta Gulden.
Tahun 1982
Banda Aceh resmi sudah tidak memiliki hubungan
kereta api lagi. Hal ini dikarenakan tidak mampu bersaing dengan sarana
transportasi jalan raya yang sudah semakin baik dan onderdil yang semakin sulit
dicari.
Pada tahun 1930 kereta api yang ada di Aceh, beroperasi dengan titik
pemberangkatan dari kota Medan dan biasanya dimulai pada pagi hari. Kereta akan
berjalan ke arah utara melalui tempat pengilangan minyak BPM (Bataafsche
Petroleum Maatschappij) Pangkalan Brandan. Di perbatasan Aceh, yaitu di
Besitang, jenis kereta api diganti dari kereta api DSM dengan kereta api Aceh
Atjeh Tram yang mempunyai jalur lebih sempit dan gerbong lebih kecil.
Perjalanan hingga Langsa melalui daerah-daerah perkebunan karet. Pemandangan
kampung-kampung dengan pohon-pohon kelapa dan pisang, rumpun bambu yang rimbun,
dan persawahan menjadi hiburan tersendiri bagi pengguna kereta api.
Di sepanjang perjalanan banyak dijumpai stasiun-stasiun kecil. Pada pukul
18.00 sore kereta api sampai di Lhokseumawe, selanjutnya keesokan harinya pada
pukul 13.00 siang, kereta tiba di stasiun Sigli. Di Padang Tiji, kereta api
berhenti selama ± 10 menit untuk diganti dengan lokomotif yang lebih kuat,
sebab jalan mulai menanjak melalui batas air antara gunung Seulawah Agam dan
gunung Seulawah Inong, yaitu melewati krueng Empat Puluh Empat. Pukul 15.00,
kereta api berangkat dari Seulimum melalui Indrapuri menuju Lambaro, di Lambaro
kondektur kembali memeriksa karcis penumpang. Pada pukul 18.00 sore, kereta api
baru tiba di stasion Kutaradja. Jadi perjalanan dengan memakai kereta api untuk
lintas Medan – Kutaradja memakan waktu selama 2 hari pada waktu itu.
Pemberhentian terakhir Atjeh Tram melalui sebuah tanggul kecil yang
berujung dekat jembatan kereta api yang terbentang di atas kuala, muara Krueng
Aceh. Tempat itu berada dekat hutan bakau. Di tempat itu sekarang sudah berdiri
dengan kokoh pertokoan Barata Department Store. Jadi, dengan kehadiran kereta api yang diramalkan
akan segera beroperasi di Aceh, diharapakan suasana perjalanan seperti tempo
dulu yang menyenangkan terhidang di depan mata.
Varian-varian Lokomotif di Aceh
Dipo Lokomotif Banda Aceh : BB
74, BB 81, BB 84, C 47, C 60
Dipo Lokomotif Langsa :
C 42, C 54, C 56, C 71, C 72, C 73, C 75, C 76, C77, D1-06, D1-12
Dipo Lokomotif Lhokseumawe : C 61, D1-09
sekian dulu ya,, semoga bermanfaat :-) LR
Post a Comment